Oleh : Risman Tidore
(Pemerhati kebijakan publik dan civil society)
Suksesi Pemilu serentak nasional 2024 kini tengah bergulir sejak diterbitkan Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024 yang resmi dilaunching oleh KPU secara nasional pada 14 juni 2022.
Dalam prosesnya, tahapan penyelenggaraan pemilu (election periods) kini sedang berada pada tahapan pendaftaran bakal calon legislatif (DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota) serta calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang dimulai pada tanggal 1 Mei sampai dengan 14 Mei 2023 sesuai Peraturan KPU nomor 10 tahun 2023.
Pemilu 2024 yang merupakan hajat demokrasi lima tahunan kini memasuki edisi yang keenam sejak era Reformasi atau Pemilu 1999. Setiap kali pemilu digelar, rakyat menggantungkan harapan, proses demokrasi ini bisa membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Komitmen untuk menyelenggarakan Pemilu yang berkualitas dan berintegritas selalu digaungkan oleh berbagai kalangan. Pemilu diharapkan makin mendekatkan pada cita-cita pendiri bangsa (founding father) yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Anggaran besar untuk perhelatan demokrasi mesti dibarengi tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) sehingga pemilu dapat melahirkan lembaga eksekutif dan legislatif yang pro rakyat. Pemilu sebagai sarana konsolidasi demokrasi bukan cuma sekedar memenuhi ketentuan teknis formal prosedural, tetapi harus mampu mencerminkan hakekat kedaulatan rakyat.
Sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 untuk mencapai tujuan demokrasi subtansial salah satu diantaranya adalah partisipasi pemilih sebagai pemilik mandat yang sah. Keberadaan pemilih yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara merupakan prasyarat utama untuk meghasilkan pemilu yang lebih berkualitas.
Karena pemilu telah menjadi mekanisme sirkulasi elit lima tahunan yang regular dilaksanakan di indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka pemimpin harus dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, pemilu harus diposisikan sebagai momentum kuasa rakyat. Pemberian mandat kekuasaan kepada mereka yang akan menjadi pemimpin nasional, wakil rakyat dan senator di 38 provinsi di Indonesia.
Penting merenungkan catatan Vilfredo Pareto dalam tulisannya, The Circulation of the Elite, (dalam William D Perdue, 1986) memberi catatan penting bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence atau punya ketergantungan bersama.
Para calon pemimpin di eksekutif dan legislatif membutuhkan suara rakyat sebagai legitimasi dirinya memenangi kontestasi di sisi lain rakyat selaku pemberi mandat juga punya kepentingan mendasar yakni perbaikan bangsa dan negara di berbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak terutama berkaitan dengan kesejahteraan hidup.
Jika prosesnya baik, berkualitas, berintegritas maka potensi untuk melahirkan para pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama-sama memiliki peluang lebih besar. Hal ini, tentu akan berkorelasi signifikan dengan penguatan kelembagaan demokrasi, karena para elite yang dilahirkan akan mengisi posisi penting sebagai pemimpin eksekutif juga anggota legislatif.
Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilu
Kedaulatan diartikan sebagai bentuk kekuasaan tertinggi yang mengatur pemerintahan dalam tingkat daerah maupun negara. Ada berbagai jenis kedaulatan yang digunakan setiap negara, yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat.
Dalam konteks Pemilu sebagai sebuah sistem demokrasi, tentunya tidak lepas dari kedaulatan rakyat dalam menjamin kebebasan warga negaranya dalam menentukan suatu pemerintahan rakyat harus terwakili di dalam pemerintahan agar valonte generale (kehendak umum) dapat terwujud. Berarti rakyatlah yang berdaulat mewakili kekuasaannya kepada suatu badan, yaitu pemerintah. Jika pemerintah tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dibebankan rakyak padanya, maka rakyat melalui Pemilu berhak untuk menentukan kembali pemerintah yang dipilih.
Dalam negara demokrasi, penggunaan kepercayaan dan mandat rakyat oleh pejabat publik harus dipertanggungjawabkan secara berkala melalui mekanisme pemilu. Sejatinya pemilu dirancang sebagai mekanisme demokratis untuk melakukan evaluasi total terhadap penggunaan kepercayaan dan mandat politik yang telah diberikan oleh rakyat pada momentum pemilu sebelumnya. Melalui pemilu juga, rakyat sebagai pemilik utama (primus interpares) kekuasaan dalam negara demokrasi justru menemukan penegasannya.
Menurut internasional IDEA, sebuah organisasi internasional yangmendukung demokrasi berkelanjutan di seluruh dunia, mendefinisikan demokrasi sebagai “pengendalian rakyat terhadap para pembuat kebijakan dan kesetaraan politik bagi mereka yang menjalankan pengendalian itu”.
Secara lebih khusus, demokrasi ideal “berupaya menjamin kesetaraan dan kebebasan asasi; memberdayakan rakyat kebanyakan; menyelesaikan perselisihan melalui dialog damai, menghormati perbedaan; serta menghasilan pembaharuan politik dan sosial tanpa konflik”.
Kedaulatan rakyat juga dipertegas dalam konstitusi UUD 1945 yang dapat dijadikan sistem politik yang dikehendaki oleh semua pihak. Hal tersebut menguatkan tasfsir tekstual atau original intent pada pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Diperkuat pula dengan bunyi ayat (2) sebagai landasan konstitusional yang mengatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Senada dengan hal tersebut, intensitas kedaulatan rakyat sebagai pemilih dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu didefinisikan sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah,Presiden dan Wakil presiden, dan unhrk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan siara langsung, umum, bebas, rrahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, rakyat sebagai pemegang mandat kuasa harus sadar dan memahami hak dan kewajibannya untuk menjaga serta memperkuat kedaulatannya selama pra hingga pasca kontestasi dan kompetisi Demokrasi elektoral. Salah satu yang menjadi kewajiban penting dalam penyelenggaraan pemilu yaitu warga masyarakat selaku penduduk, pemilih harus mengetahui dan mengikuti aktivitas pemilu sebelum tahapan pemilu dimulai.
Implementasi Kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu adalah mengawal tahapan dan proses Pemilu agar tetap on the track sesuai asas dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Menciptakan suatu kondisi budaya politik masyarakat yang partisan sehingga masyarakat mengerti bahwa status sebagai warga negara, penduduk, dan pemilih dengan memberikan perhatian lebih terhadap sistem politik dan demokrasi elektoral tidak hanya mekanisme teknis yang dijalankan dalam Pemilu seperti pemutakhiran data pemilih, Pencalonan, kampanye, pemungutan suara, cara penghitungan, penentuan hasil, dan sebagainya yang sifatnya teknis.
Tapi lebih dari pada itu implementasi kedaulatan rakyat dalam pemilu harus memastikan independensi hak pilih yang dimilikinya tidak terganggu hanya karena alasan pragmatis dan transaksional. Mampu mengakses visi dan visi serta tawaran program calon wakil rakyat dan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih.
Demikian pasca pemilu, ada periode yang sangat penting, dimana pemilih lebih dituntut untuk menjalankan kewajibannya. Yakni mengawal, apakah visi misi itu bisa dijalankan dengan baik, apakah janji kampanye yang telah disampaikan dapat diakses dan bisa menuntut pertanggungjawaban pemipin eksekutif dan legislatif yang dipilih. Sama halnya dengan pemimpin eksekutif dan legislatif yang terpilih dalam pemilu juga memiliki kewajiban memastikan visi dan misi berjalan dengan baik.
Dengan demikian, terkonstruksinya demokrasi dalam pemilu tidak hanya diukur dengan hasil akhir dalam penyelenggaraan pemilu, tapi pasca pemilu rakyat berkewajiban untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik. Rakyat sebagai pemberi mandat lebih jelih dan menjadi spionase dalam melihat proses demokrasi pasca pemilu tersebut terus berjalan.
Dari proses tersebut dapat dikatakan bahwa ujung dari sebuah proses politik demokrasi berupa Pemilu adalah kemauan yang tulus bagi sang pemimpin terpilih untuk meletakkan rakyat di atas segala-galanya untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, disinilah sebenarnya hakekat dari pelaksanaan Pemilu dan kedudukan warga negara sebagai pemilih yang berdaulat dalam bingkai demokrasi, penglegitimasian kemakmuran dan kesejahteraan dalam kaidah usul fiqih disebutkan ” Ta-syarruful imamii A’lilra’iyati manuutuum bil mashlahah ” bahwa tindakan dan kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya haruslah berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, disinilah sinegritas antara bagaimana kemakmuran ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan tingkat pengetahuan yang tinggi adalah faktor penentu bagi terciptanya nuansa kehidupan politik yang demokratis.
Komentar